23 Agustus 2017

Pagi di desa Bakoi

Pagi hari di desa Bakoi hujan kembali meratapi bumi, langit kelabu sembab, entah sampai kapan dunia disini berhenti menangis. Dingin menggigit tubuhku sampai ke tulang sumsum. Hari ini aku berniat kembali ke desa Sekamu. Apalagi ada undangan pernikahan yang dihelat di desa sekamu.

"Jangan kuatir, hari ini pasti kamu sampai ke desa sekamu" kata nangah Anton menenangkanku. Secawan kopi ukuran jumbo disajikan istri nangah Anton untuk kami yang sedang duduk diteras rumah. Lantas nangah Anton menuangkan kopi itu ke cangkir seng warna hijau untuk kami berdua. Menyeruput kopi kelat khas orang dayak belangin sungguh nikmat rasanya.

Nyanti di teras bersama warga desa Bakoi


Tak lama datang tetangga memenuhi teras, ikut nimbrung. Pagi yang dingin di desa bakoi terasa hangat. Bukan karna terik matahari, tapi karna keramah-tamahannya orang desa Bakoi. Meskipun hidup dalam kemiskinan, keramah-tamahan tak luntur dimakan waktu.

Sebelum berangkat melanjutkan perjalanan, istri nangah Anton menyiapkan sarapan untuk ku. Hanya aku dan nangah Anton yang sarapan. Sedangkan istri dan anaknya menyusul sarapan setelah kami selesai makan. Cara sopan santun terhadap tamu saat menjamu makan dimana kepala keluarga dan kaum lelaki dari keluarga yang menemani makan. Sedangkan istri, dan anak - anak menyusul makan setelah tamu sudah selesai makan. Atau makan bersama namun di lain tempat, tidak bergabung bersama dengan kaum lelaki dan tamu. Cara lama khas orang dayak.

Aku sering mengalaminya salah satunya saat dijamu makan siang di desa Taras. Hanya aku dan kepala keluarga yang makan, sedangkan istri dan anaknya menyusul makan setelah kami selesai makan, itu pun makan dipojok dapur.

Namun seiring waktu menggeser jaman, cara lama menjamu makan tamu ini perlahan mulai memudar. Itu karna tercetusnya ideologi bahwa wanita setara dengan pria dikalangan orang dayak. Lagipun yang susah payah memasak sampai menyiapkan makanan adalah wanita, kenapa wanita harus makan 'sisa'.

Aku teringat saat berada dirumah, saat aku menjamu tamu makan. Istriku yang menyiapkan makanan untuk kami. Hanya aku dan para tamu yang menyantap makanan itu. Ketika istriku ditawar tamu untuk makan bersama , istriku menjawab belum lapar, tadi sudah makan. Padahal aku tau dia belum makan.

Sesudah sarapan dan ngobrol sebentar, kami akhirnya berangkat walaupun masih hujan. Ya, perjalananku kembali ke desa Sekamu ditemani nangah Anton. Dia takut aku tersesat karna banyak persimpangan. Lagipun dia ada urusan diluar katanya. Aku ragu dengan alasannya, urusan pribadi apa sampai mau basah - basahan diguyur hujan. Pasti sudah niatnya mengantar aku agar tidak tersesat. Aku tak sanggup membalas kebaikan keluarga nangah Anton, biar Tuhan saja yang membalas berlipat - lipat ganda.

Jalan tanah kuning ini sangat licin, entah berapa kali sudah motorku terpeleset. 2kali aku terjatuh dan tertimpa motor. Melihat aku yang susah payah, kini nangah Anton yang mengemudi motorku dan aku mengemudikan motornya. Aku benar - benar payah, terlalu banyak merepotkan nangah Anton.
Motor nangah Anton ini type trail. Corak bannya pun gahar, sehingga enteng buatku menaklukkan jalanan yang licin. Sementara nangah Anton terseok - seok mengimbangi 'kuda supra-X' yang liar.
Kemudian ia berhenti dan 'mengempiskan ban belakangku'. Ini adalah salah satu trik agar ban motor tak mudah tergelincir saat berkendara di tanah yang licin (tanah kuning). Terbukti, kini nangah Anton bisa lebih tenang menunggangi motorku.


Setelah sampai di persimpangan terakhir dan menunjukkan jalur yang mudah menuju desa Sekamu, baru lah kami berpisah. Berjabat tangan saat hujan masih mengguyur, seperti perpisahan ala film korea. Kini aku melanjutkan perjalanan seorang diri menuju desa Sekamu dengan tubuh yang bergemetar hebat


Bersambung .....

2 komentar:

  1. singkat cerita pengalaman pribadi yang mengesankan ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ma acih. Selalu mengesankan kalau traveling masuk desa

      Hapus